Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam, Al-Bukhari, Al-Muslim, Bukhari, Muslim
RIWAYAT HIDUP IMAM BUKHARI DAN IMAM MUSLIM
Oleh : Drs. H. Ahmad Supardi Hasibuan, MA.

PENDAHULUAN

Islam adalah merupakan sebuah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada ummat manusia melalui seorang RasulNya Muhammad SAW yang dasar utamanya adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam kitab Muzakkiratut Tauhid wal Firaq adalah lafal berbahasa arab yang diturunkan kepada pemimpin kita Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang dianggap sebagai ibadah membacanya, yang menantang setiap orang (untuk menyusun walaupun) dengan (membuat) surat yang terpendek daripadanya, yang dimulai dengan Surat Al-Fatihah dan ditutup dengan Surat An Nas. Definisi lain menyebutkan bahwa Al-Qur’an adalah perkataan yang mengandung mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertulis dalam mushhaf, yang disampaikan dengan mutawatir, yang dianggap sebagai ibadah membacanya.

Adapun Al-Hadits sebagaimana disebutkan oleh Shubhi al-Shalih, kata hadits adalah merupakan bentuk isim dari tahdits, yang mengandung arti memberitahukan, mengabarkan. Berdasarkan pengertian inilah, selanjutnya setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) yang disandarkan kepada NabiMuhammad SAW dinamai dengan hadits. Sedangkan hadits secara terminologis menurut Ibnu Hajar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW. Definisi lain menyebutkan Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat.

Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai dasar utama ajaran agama Islam sebagaimana disebutkan di atas adalah sesuatu yang saling melengkapi antara satu sama yang lain, sebab Al-Qur’an tidak akan bisa dipahami tanpa melalui perantaraan Al-Hadits. Al-Hadits juga tidak memiliki dasar yang kuat tanpa adanya legitimasi dari Al-Qur’an, bahkan dalam salah satu ayat disebutkan, “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu Allah yang diwahyukan kepadaNya”.

Mengingat pentingnya peranan Al-Hadits dalam ajaran agama Islam maka tak dapat disangkal lagi betapa pentingnya pula mengenal tokoh-tokoh yang berkecimpung dalam dunia Al-Hadits yang telah mengeluarkan energi, tenaga dan pikiran yang luar biasa untuk dapat mengkalisifikasikan mana hadits yang shohih dan mana hadits yang dha’if. Mana hadits yang dapat dijadikan hujjah dan mana hadits yang tak dapat dijadikan hujjah, dan lain sebagainya.

Untuk keperluan ini maka tokoh central yang tak dapat dilupakan jasa-jasanya adalah Imam Bukhari dan Imam Muslim. Selain keduanya tentu masih banyak lagi Imam-Imam Hadits yang lain seperti Imam Tirmizi, Imam Nasa,i, Imam Ibnu Majah, Abu Daud, Al-Darimi, Al-Baihaqi, Ibnu Hambal, Imam Malik dan lain-lain sebagainya yang telah mendedikasikan dirinya untuk mengeksplorasi hadits-hadits yang jumlahnya ratusan ribu, dimana sebahagian di antaranya banyak hadits-hadits palsu yang diciptakan oleh orang-orang tertentu yang ingin mengacau balaukan kehidupan beragama ummat Islam.

Sebagaimana diketahui bersama bahwa pada mula-mula dahulu ulama-ulama Islam menerima hadits dari para perawi, lalu menulis ke dalam bukunya, dengan tidak mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memperhatikan shahih tidaknya hadits tersebut. Keadaan ini oleh musuh yang berkedok dan berselimut Islam melihat kegiatan-kegiatan ulama hadits dalam mengumpulkan hadits. Maka merekapun menambah kegiatannya untuk mengacau balaukan hadits, yaitu dengan menambah-nambah lafalnya atau dengan membuat hadits maudhu’. Melihat kesungguhan musuh-musuh Islam dan menginsyafi akibat-akibat perbuatan mereka, maka bersungguh-sungguhlah ulama-ulama hadits untuk melakukan :

1. Membahas keadaan perawi-perawi hadits dari berbagai segi seperti keadilan, tempat kediaman, masa hidup dan lain-lain.2. Memisahkan hadits-hadits yang shahih dari hadits yang dhaif, yakni mentashhihkan hadits.

Untuk keperluan hal tersebut maka para ulama hadits melakukan gerilya ke seluruh penjuru dunia Islam di mana diperkirakan terdapat perawi-perawi hadits dan hadits-hadits beredar dalam masyarakat. Kegiatan ini antara lain dilakukan oleh Imam Bukhari yang kelak dilanjutkan oleh murid kesayangannya Imam Muslim, dengan melakukan gerilya ke kota-kota dimana diperkirakan banyak hadits. Untuk keperluan ini Imam Bukhari pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqolan dan Himmash. Ringkasnya Imam Bukhari membuat langkah mengumpulkan hadits-hadits yang tersebar di berbagai daerah. Enam belas tahun lamanya terus menerus Al-Bukhari menjelajah untuk menyiapkan Kitab Shahihnya. Hal yang sama dilakukan oleh Imam Muslim.

Oleh karena itulah maka pemilihan terhadap kedua tokoh central ini untuk menjadi pokok bahasan dalam makalah ini sangat tepat, dengan alasan, selain karena penunjukan langsung dari Dosen Study Hadits Bapak Dr. H. Ilyas Husty, MA., juga penulis menilai bahwa hadits-hadits yang dikeluarkan oleh kedua tokoh ini adalah yang paling tinggi nilainya ataupun kualitasnya, sebab kedua tokoh ini memiliki persyaratan yang sangat ketat, memiliki kriteria yang sangat kritis dan mendapat pengakuan dari kalangan ulama Hadits tentang ketokohannya dalam bidang Hadits. Oleh karena itulah maka penulis merasa senang dan tertarik untuk membahas kedua Tokoh Hadits ini, yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim, sekalipun dengan penuh keterbatasan.

MENGENAL IMAM BUKHARI

Sebagaimana disebutkan di muka bahwa Imam Al-Bukhari adalah merupakan tokoh central dalam bidang periwayatan hadits yang telah berjasa bagi ummat Islam khususnya melakukan klasifikasi mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dhaif. Perkerjaan yang dilakukan oleh Imam Bukhari ini hampir tidak dapat lagi dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim, kecuali hanya sekedar mengeritik apa yang telah dilakukan oleh Imam Bukhari. Penulis beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Bukhari adalah merupakan puncak kajian yang dilakukan oleh sarjana muslim dan sangat tepat apabila Kitab haditsnya ditempatkan satu tingkat di bawah Al-Qur’an.

Sejarah Hidup Al-Bukhari

Al-Bukhari adalah seorang ahli hadits yang nama lengkapnya Abu Abd Allah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ja’fi. Menurut catatan sejarah, Bardizbah adalah pemeluk Majusi, sementara al-Mughirah telah memeluk Islam setelah mendapatkan bimbingan dari gurunya yang bernama al-Yaman al-Ja’fi yang sekaligus seorang Gubernur di Bukhara. Karena jasa al-Yaman al-Ja’fi terhadap al-Mughirah, maka di belakang nama al-Mughirah kemudian dilekatkan nama al-Ja’fi sebagai akibat hubungan Wala’.

Al-Bukhari lahir pada hari Jum’at tanggal 13 Syawwal 194 H di Bukhara. Ayahnya, Ismail, adalah seorang ulama hadits yang pernah belajar hadits dari sejumlah ulama terkenal seperti Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan Ibnu Al-Mubarak. Namun ayahnya tersebut meninggal dunia ketika Bukhari masih dalam usia sangat muda. Diceritakan bahwa ayah al-Bukhari yang bernama Ismail, di samping sebagai seorang yang berilmu tinggi, dia juga seorang yang Wara’ (menghindarkan diri dari hal-hal yang bersifat syubhat atau tidak jelas mengenai halal dan haramnya) dan Taqwa. Pada suatu saat sebelum ajal menjemputnya, dia pernah mengatakan, dalam harta yang dimilikinya tiada sedikitpun yang berbau syubhat apalagi haram.

Melihat latar belakang keluarganya yang demikian wara’ dan taqwa maka sangat wajar apabila Bukhari kecil mewarisi sifat-sifat terpuji dan memiliki kekuatan-kekuatan istimewa yang tidak dimiliki anak-anak seusianya. Diceritakan di saat usianya belum mencapai sepuluh tahun, Bukhari kecil telah memulai belajar hadits, sehingga tidak mengherankan apabila pada usia kurang lebih 16 tahun telah berhasil menghafal matan sekaligus rawi dari berbagai buah kitab karangan Ibnu Mubarak dan Waqi’. Bakat dan Kecerdasan Al-Bukhari

Kecerdasan al-Bukhari sebenarnya telah tampak semenjak dia masih kecil. Sebelum dia genap berusia sepuluh tahun dia telah banyak menghafal hadits. Bakatnya dalam bidang ilmu hadits semakin tampak setelah dia berumur sepuluh tahun. Muhammad Bin Abi Hatim menyatakan bahwa dia pernah mendengar Bukhari menceritakan bahwa dia memndapatkan ilham untuk mampu menghafal hadits. Ketika ditanya sejak usia berapa dia memperoleh ilham tersebut, dijawab oleh Bukhari sekitar berumur sepuluh tahun atau bahkan kurang dari itu. Bukhari bukan hanya mempelajari dan menghafal hadits-haditsnya saja, akan tetapi dia juga menghafal biografi perawi-perawi hadits yang terlibat dalam periwayatannya, mulai dari tanggal dan tempat lahir mereka, juga tanggal dan tempat mereka meninggal dunia, dan sebagainya.

Ketajaman dan kecerdasan otaknya juga tercermin dalam perkataannya, “ saya hafal hadits di luar kepala sebanyak seratus ribu hadits shahih dan dua ratus ribu hadits lain yang tidak shahih”. Pernyataan ini cukup terkenal dan menjadi catatan para penulis biografinya. Akan tetapi maksud sesungguhnya dari perkataannya tersebut bukan dalam hal banyaknya jumlah hadits yang berbeda-beda, melainkan banyak dalam arti sanad atau jalannya. Hal ini disebabkan kadang-kadang satu hadits ditemukan sejumlah jalan atau sanad.

Selain ucapannya itu al-Bukhari membuktikan dirinya sebagai orang yang cerdas dan mempunyai daya ingat yang luar biasa. Kisah tersebut diawali ketika al-Bukhari berkunjung ke Baghdad. Pada saat itu para ulama di sana sepakat menguji kemampuannya. Mereka mengambil seratus buah hadits, kemudian sanad dan matannya saling ditukar agar menjadi kacau. Ada sepuluh ulama yang siap menguji dengan masing-masing memberikan pertanyaan sepuluh hadits yang telah dijungkirbalikkan tersebut. Ujicobapun dilaksanakan dan mulailah ulama pertama dengan menanyakan satu persatu hadits dengan sanad dan matannya yang dikacaukan sampai sepuluh hadits selesai. Dalm hal ini al-Bukhari hanya memberikan jawaban, “Saya tidak tahu hadits yang anda kemukakan ini”. Begitu seterusnya setiap ulama selesai meemberikan pertanyaan, jawaban al-Bukhari tidak berubah, hingga seluruh ulama selesai menyampaikan pertanyaan.

Tentu saja kondisi ini menimbulkan spekulasi di antara para hadirin dan juga para ulama yang menguji tersebut. Sebagian di antara mereka mengira bahwa al-Bukhari tidak mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, namun sebagian di antara mereka ada yang berpendapat bahwa al-Bukhari yang dikenal sebagai orang cerdas tersebut akan dengan mudah menjawabnya. Spekulasi pendapat tersebut tidak berlangsung lama, karena setelah seluruh ulama menyampaikan pertanyaannya,al-Bukhari dengan tenang dan cukup berwibawa menjawab satu persatu dengan urut sesuai pertanyaan yang diajukan. Al-Bukhari menjelaskan dengan gamblang mengenai posisi sanad dan matan yang benar secara berurutan. Setelah selesai mengutarakan jawabannya, para ulama dan semua yang hadir merasa kagum atas kecerdasan dan kekuatan hafalannya yang luar biasa.

Adapun yang paling mengagumkan dalam masalah ini bukanlah karena al-Bukhari mampu memberikan jawaban-jawaban yang mengagumkan, akan tetapi yang luar biasa itu adalah bagaimana al-Bukhari mampu menghafal hadits-hadits yang telah dijungkirbalikkan yang diajukan kepadanya itu, padahal baru kali itulah dia mendengarnya, namun dia tetap dapat menyebutkannya persis seperti yang diajukan kepadanya.

Akhir Kehidupan al-Bukhari

Setelah mengalami hidup berpindah-pindah, penduduk Samarkand merasa terpanggil untuk mengundang al-Bukhari untuk tinggal dan menetap di sana dengan damai. Simpati masyarakat Samarkand tersebut ditolak secara halus oleh al-Bukhari, namun setelah beberapa kali diyakinkan dengan kesungguhan hati dan prospek yang cukup cerah bagi pengembangan ilmu, al-Bukhari akhirnya menyetujui permintaan mereka. Rupanya keinginan untuk memenuhi undangan masyarakat Samarkand tersebut tidak pernah kesampaian, sebab dalam perjalanannya menuju ke sana, al-Bukhari terkena penyakit di desa Khartand, sebuah desa kecil di luar Samarkand, kurang lebih 2 farsakh. Di desa itu al-Bukhari dirawat dan diobati oleh beberapa famili yang kebetulan ada dan menetap di desa itu. Upaya penyembuhan telah dilakukan secara maksimal, namun Allah SWT ternyata telah membuat keputusan. Karena itu tepat pada malam Idul Fitri tahun 256 H (31 Agustus 870 M), hari Sabtu , dalam usia 62 tahun kurang 13 hari, al-Bukhari mengaakhiri hidupnya dan menghadap Sang Khaliq Allah SWT.

Al-Bukhari dimakamkan selepas Shalat Dhuhur pada hari Idul Fitri itu juga dengan dikafani 3 helai kain, tanpa baju dalam dan tanpa surban, sesuai dengan pesannya sebelum wafat. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmatnya kepada Imam Hadits yang sangat tersohor dan mempunyai andil yang luar biasa besar terhadap pengklasifikasian hadits-hadits ini. Semoga Allah SWT menempatkannya di tempat yang mulia di sisiNya. Amien Ya Robbal “alamien.

Guru dan Murid al-Bukhari

Perjalanan panjang al-Bukhari untuk memperkaya khazanah keilmuan hadits telah mengantarkannya untuk berguru kepada sekian banyak orang. Sejarah mencatat dalam pengembaraan keilmuannya, al-Bukhari telah berguru kepada 1.080 orang guru telah dia temui dan memberikan riwayat hadits kepadanya. Dalam al-Jami’ al-Shahih saja telah terabadikan 289 orang guru sebagai perawi hadits. Di antara para guru al-Bukhari yang terkenal adalah Ali Bin Al-Madini (w. 234 H/848 M), Ahmad Bin Hambal (164-241 H), Yahya Bin Ma’in (158-233 H) dan Ishaq Bin Rawayh (w. 238 H.)

Sementara itu murid-murid atau para ulama yang meriwayatkan hadits darinya secara hitungan tidak dapat dipastikan jumlahnya. Menurut suatu riwayat yang diambil oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani bahwa kitab al-Jami’ al-Shahih saja telah didengar oleh tidak kurang dari 90.000 orang. Namun beberapa nama dapat disebutkan di sini antara lain adalah al-Tirmizi (2098-279 H), Muslim Bin al-Hajjaj (206-261 H), Yahya Bin Muhammad Bin Sa’id al-Baghdadi, dan al-Nasa’i (215-303 H.).

Karya-Karya al-Bukhari

Sebagai seorang ulama yang menghabiskan hidupnya untuk pengembangan dunia ilmu pengetahuan khususnya di bidang hadits, al-Bukhari telah menulis sekian puluh kitab yiatu : al-Jami’ al-Shahih; Adab al-Mufrad; al-Tarikh al-Shagir; al-Tarikh al-Ausath; al-Tarikh al-Kabir; al-Tafsir al-Kabir; al-Musnad al-Kabir; Kitab al-‘Ilal; Raf’ al-Yadayn Fi al-Sholat; Kitab Khalq Af’al al-‘Ibad; al-Jami’ al-Kabir; Musnad al-Kabir; Kitab al-Hibban; Kitab al-Wijdan; Kitab al-Mabsuth; Kitab al-Fawa’id; Birrul Walidain; Kitab al-Asyribah; al-Qira’ah Khalf al-Imam; Kitab al-Dhu’afa’; Asami al-shohabah; Kitab al-Kuna; dan lain-lain. Namun demikian dari sekian banyak-kitab-kitab karangannya itu yang paling terkenal adalah al-Jami’ al-Shahih yang nama lengkapnya adalah al-Jami’ al-Musnad al-Shahihal-Mukhtashar min Umur Rasul Allah Saw wa Sunanihi wa Ayyamih.

Selain itu juga disebutkan bahwa kitab ini adalah merupakan kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Memang diakui bahwa sebelumnya Imam Syafi’i pernah menyatakan bahwa kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, namun ucapan itu sebelum adanya kitab al-Jami’ al-Shahih. Adapun kehebatan kitab ini adalah sebagai berikut :

1. Persyaratan al-Bukhari dalam menyeleksi hadits-haditsnya, yang dinilai paling ketat dan memadai dibandingkan dengan yang lain, semisal dengan diharuskannya ada pertemuan antara guru dan murid dan tidak hanya cukup dengan semasa saja.2. Usaha ruhani yang dilakukan oleh al-Bukhari dalam rangka penyusunan al-Jami’ al-Shahih seperti selalu melakukan sholat istikharah, dan berwudhu’ serta shalat sunnah dua rakaat sebelum meletakkan hadits ke dalam al-Jami’ al-Shahih untuk memastikan bahwa hadits yang ditulisnya benar-benar datang dari Rasul.3. Bahwa seluruh hadits yang terdapat di dalam al-Jami’ al-Shahih merupakan seleksi yang ketat terhadap 600.000 hadits yang beredar pada saat itu, seperti pernyataan al-Bukhari sendiri, “Saya telah menyeleksi hadits-hadits dalam al-Jami’ al-Shahih dari 600.000 hadits dan saya tidak memasukkan ke dalamnya kecuali hadits shahih, tetapi saya juga tidak memasukkan hadits-hadits shahih lain ke dalamnya.4. Di samping materinya yang bernilai shahih, al-Jami’ al-Shahih juga merupakan referensi yang diandalkan oleh ulama-ulama setelah al-Bukhari. Kandungan materinya juga dinilai para ulama sebagai ushul al-ahkam, karena memuat pernyataan-pernyataan hukum yang sangat dasar dan fundamental sifatnya.

Kriteria Keshahihan Hadits Menurut Al-Bukhari

Al-Bukhari dalam kitabnya tidak menginformasikan secara konkrit kriteria keshahihan sebuah hadits, namun menurut penelitian para ulama, sebuah hadits menurut Imam Al-Bukhari bila dalam persambungan sanad benar-benar ditandai dengan pertemuan langsung antara guru dan murid atau minimalnya ditandai dengan guru dan murid hidup pada satu masa. Hazami dan Maqdisi dua orang ulama kenamaan abad keenam hijriyah menyatakan bahwa kriteria hadits shahih menurut Imam Al-Bukhari disimpulkan bahwa ia hanya menuliskan hadits dari periwayatan kelompok periwayat tingkat pertama dan sedikit dari tingkat kedua yaitu yang memiliki sifat adil, kuat hafalan, teliti, jujur dan lama dalam berguru.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kriteria hadits shahih menurut Imam al-Bukhariu adalah : Dalam hal persambungan sanad ia menekankan adanya informasi positif tentang periwayatan bahwa mereka benar-benar bertemu atau minimal satu zaman dan dalam hal sifat atau tingkat keilmuan periwayat ia menekankan adanya kriteria paling tinggi.

MENGENAL IMAM MUSLIM

Sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini bahwa selain Imam Al-Bukhari sebagai tokoh central yang sangat berjasa dalam hal pengkajian shahih tidaknya sebuah hadits, terdapat juga tokoh central lainnya dalam bidang periwayatan hadits yang telah berjasa bagi ummat Islam khususnya melakukan klasifikasi mana hadits yang shahih dan mana hadits yang dhaif yaitu Imam Muslim. Imam Muslim ini adalah murid kesayangan dari Imam Bukhari. Pekerjaan di bidang keilmuan hadits yang dilakukan oleh Imam Muslim sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari, hampir tidak dapat lagi dilakukan oleh sarjana-sarjana muslim, kecuali hanya sekedar mengeritik apa yang telah dilakukan oleh keduanya. Penulis beranggapan bahwa apa yang dilakukan oleh Imam Muslim (sebagaimana halnya Imam Bukhari) adalah merupakan puncak kajian yang dilakukan oleh sarjana muslim. Namun demikian apabila dilihat dari segi tingkatan kualitasnya, maka kualitas hasil karya Imam Muslim satu tingkat di bawah Imam Bukhari. Namun karya Imam Muslim lebih sistematis dibandingkan dengan karya Imam Bukhari.

Sejarah Hidup Imam Muslim

Imam Muslim nama lengkapnya adalah Abu Al-Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi al-Naisaburi. Beliau dinisbahkan kepada Naisaburi karena dilahirkan di Naisabur, sebuah kota kecil di Iran bagian Timur Laut. Beliau juga dinisbatkan kepada nenek moyangnya atau kabilahnya yaitu Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin sa’sa’ah suatu keluarga bangsawan besar. Ia dilahirkan pada tahun 204 H=820 M.

Imam Muslim belajar hadits mulai usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H = 833 M. Sejak itulah beliau sangat serius dalam mempelajari dan mencari hadits. Pada masanya beliau terkenal sebagai ulama yang gemar bepergian melawat ke berbagai daerah atau negara untuk mencari hadits. Beliau pernah pergi ke hijaz, Irak, Syam, Mesir dan tempat-tempat lainnya. Beliau pernah ke Khurasan untuk belajar hadits kepada Yahya Bin Yahya dan Ishaq bin Rahawaihi dan lain-lain; ke Roy untuk belajar hadits kepada Muhammad bin Mahran, Abu Gasan dan lain-lain; ke Irak untuk belajar hadits kepada Ahmad bin Hambal, Abdullah bin Maslamah dan lain-lain; ke Hijaz untuk belajar hadits kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas’ab; dan pernah ke Mesir untuk belajar hadits kepada ‘Amar bin Sawad, Harmalah bin Yahya dan kepada para ulama ahli hadits lainnya. Iapun pernah berkali-kali mengunjungi kota Baghdad dan berguru kepada sejumlah ulama hadits senior. Ketika Imam Bukhari datang ke kota inipun, ia aktif sekali mengunjungi majelisnya dan menimba banyak-banyak hadits dari al-Bukhari serta mengikuti jejaknya.

Guru dan Muridnya

Ada banyak sekali para ulama hadits yang dijadikan Imam Muslim sebagai tempatnya menimba ilmu pengetahuan khususnya di bidang hadits. Selain yang disebutkan di atas, ada banyak ulama hadits lainnya yang menjadi gurunya yaitu Usman dan Abu Bakar yang keduanya adalah putra Abu Syaibah, Syaibah bin Farwakh, Abu Kamil al-Juri, Zuhair bin Harb, ‘Amar bin al-Naqib, Harun bin Sa’id al-‘Ayli, Qutaibah bin Sa’id, Qatadah bin Sa’id, al-Qa’nabi, Ismail bin Abi Uwais, Muhammad bin al-Musanna, Muhammad bin Yassar, Muhammad bin Rumhi dan lain sebagainya.

Para ulama yang menjadi muridnyapun cukup banyak, bahkan di antaranya terdapat ulama-ulama besar yang sederajat dengannya atau kawan seangkatannya. Para ulama besar yang sederajat dengan beliau dan para hafiz yang banyak berguru kepadanya misalnya Abu Hatim al-Razi, Musa bin Harun, Ahmad bin Salamah, Yahya bin Sa’id, Abu Bakar ibnu Khuzaimah, Abu ‘Awwanah al-Isfiraini, Abu Isa al-Tirmizi, Abu ‘Amar Ahmad bin al-Mubarak al-Mustamli, Abu al-Abbas Muhammad bin Ishaq bin al-Siraj dan lain-lainnya, jumlanya sangat banyak. Di antara sekian banyak muridnya yang paling menonjol adalah Ibrahim bin Muhammad bin Sufyan, seorang ahli fiqh dan zahid, yang merupakan periwayat utama dalam Shahih Muslim. Kepribadiannya

Imam Muslim adalah salah seorang muhaddits, hafiz yang sangat terpercaya. Beliau banyak menerima pujian dan pengakuan dari para ulama hadits maupun ulama lainnya. Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan dengan sanad lengkap, dari Ahmad bin Salamah, katanya : “Saya melihat Abu Zur’ah dan Abu Hatim senantiasa mengistimewakan dan mendahulukan Muslim bin al-Hajjaj di bidang pengetahuan hadits shahih atas guru-guru mereka pada masanya.

Imam Muslim adalah seorang saudagar yang beruntung, ramah dan memiliki reputasi tinggi. Az-Zahabi menjulukinya sebagai Muhsin Naisabur. Beliau tidak fanatik dengan pendapatnya sendiri, murah senyum, toleran dan tidak gengsi untuk menerima pendapat atau kebenaran dari orang lain.Hasil Karya Imam Muslim

Sebagai seorang sarjana muslim, Imam Muslim telah banyak menghasilkan karya-karya monumental dalam bidang keilmuan yang sangat bermanfaat dan berpengaruh bagi ummat Islam, antara lain adalah Al-Jami’ al-Shahih; Al-Musnad al-Kabir ala ar-Rijal; Al-Jami’ al-Kabir; al-Asma’u wa al-Kuna; Al-‘Ilal; Awham al-Muhadditsin; At-Tamyin; Man Laisa Lahu Illa Rawin Wahid; Al-Tabaqat al-Tabi’in; Al-Mukhadramin; Awlad al-Shohabah; Intifa’ bi Uhub (Julud) al-Siba’; Al-Aqran; Su’alatihi Ahmad Bin Hambal; Al-Afrad wa Al-Wihdan; Masyaikh al-Sauri; Masyaikh Syu’bah; Masyaikh Malik; Al-Tabaqat; Afrad al-Syamsiyin; Al-Wahdan; Al-Shahih al-Musnad; Hadits Amr bin Syu’aib; Rijal Urwah; dan Al-Tarikh. Dari karya-karya tersebut sebagian di antaranya ada yang telah dipublikasikan dan sebagian di antaranya masih dalam bentuk manuskrip yang bertebaran di berbagai perpustakaan.

Dari sekian banyak karya-karya keilmuan Imam Muslim tersebut, yang paling menonjol adalah al-Jami’ al-Shahih (Shohih Muslim). Al-Jami’ al-Shahih ini menurut Hasbi Ash-Shiddiqie adalah merupakan kitab kedua setelah al-Jami’ al-Shahih karya Imam Bukhari yang menjadi pegangan dan pedoman. Namun demikian dari segi susunan, Shohih Muslim lebih sistematis dibandingkan dengan Shahih Bukhari, karena kita lebih mudah mencari hadits di dalamnya daripada mencari hadits di dalam Shahih Bukhari. Muslim menempatkan hadits-hadits wudhu’ umpamanya di bagian wudhu’, tidak bereserak-serak di sana sini seperti halnya Shahih Bukhari.

Para ulama hadits memberikan penilaian bahwa Shahih Muslim memiliki kelebihan dibandingkan kitab hadits lainnya. Kelebihannya itu adalah sebagai berikut :

1. Susunan isinya sangat tertib dan sistematis;2. Pemilihan redaksi (matan) haditsnya sangat teliti dan cermat;3. Seleksi dan akumulasi sanadnya sangat teliti, tidak tertukar-tukar, tidak lebih dan tidak kurang;4. Penempatan dan pengelompokan pada hadits-hadits ke dalam tema atau tempat tertentu, sehingga sedikit sekali terjadi pengulangan penyebutan hadits.

Adapun nama lengkap dari Shahih Muslim ini adalah Al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar min al-Sunan bi Naql al-‘Adl ‘an al-‘Adl ‘an Rasul Allah. Kitab ini, berdasarkan penomoran yang dilakukan oleh Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi, memuat sejumlah 3.033 hadits. Penomoran tersebut tidak berdasarkan pada sistem sanad, namun berdasarkan pada topik atau sabjek hadits. Sedangkan menurut An Nawawi, Shahih Muslim memuat 400 hadits dengan tanpa menyebut yang berulang-ulang. Hadits-hadits tersebut adalah merupakan penyaringan atas 300.000 hadits yang berhasil dikumpulkan oleh Imam Muslim sekitar 15 tahun.

Akhir Kehidupan Imam Muslim

Akhirnya setelah melakukan pengembaraan yang cukup panjang dalam bidang pengumpulan, penelitian tentang hadits, Imam Muslim yang sangat kita hormati itu pada Ahad sore, berpulang kerahmatullah dalam usia 55 tahun. Jenazahnya dimakamkan esok harinya, Senin 25 Rajab 261 H = 875 M di kampung Nasr Abad, salah satu daerah di luar Naisabur. Semoga arwahnya ditempatkan Allah SWT pada tempat yang mulia di sisiNya dan semoga amal jariyah yang menjadi amal bhaktinya selama hidup dan kehidupannya di dunia yang fana ini mendapat limpahan rahmat dan pahala dari Allah SWT. Amien Ya Robbal ‘Alamien…

Kriteria Keshahihan Hadits Menurut Imam Muslim

Adapun mengenai persyaratan sebuah hadits shahih, Imam Muslim sebagaimana Imam Bukhari, tidak menyebutkannya secara eksplisit, namun para ulama menyimpulkan dan merumuskan persyaratan yang dikehendaki oleh Imam Muslim berdasarkan metode dan cara dia menerima serta menyeleksi hadits-hadits yang diterimanya dari berbagai perawi dan selanjutnya memasukkannya ke dalam kitab shahihnya. Persyaratan tersebut pada dasarnya tidak berbeda dengan syarat-syarat keshahihan suatu hadits yang telah disepakati oleh para ulama, yaitu sanadnya bersambung, para perawinya bersifat adil dan dhabit (kuat hafalannya dan terpelihara catatannya), serta selamat dari syaz dan ‘illat.

Dalam memahami dan menerapkan persyaratan di atas, terdapat sedikit perbedaan antara Imam Muslim dengan Imam Bukhari, yaitu dalam masalah Ittishalu al-Sanad (persambungan sanad). Menurut Imam Muslim, persambungan sanad cukup dibuktikan melalui hidup semasa (al-mu’asyarah) antara seorang guru dan muridnya, atau antara seorang perawi dengan perawi yang menyampaikan riwayat kepadanya. Bukti bahwa keduanya pernah saling bertemu (Al-Liqadh) sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Bukhari, tidaklah dituntut oleh Imam Muslim, sebab menurut Imam Muslim seorang perawi yang tsiqat tidak akan mengatakan bahwa dia meriwayatkan sesuatu hadits dari seseorang kecuali dia telah mendengar langsung dari orang tersebut, dan dia tidak akan meriwayatkan sesuatu dari orang yang didengarnya itu kecuali apa yang telah dia dengar.

KESIMPULAN

1.Imam Bukhari dan Imam Muslim adalah dua orang sarjana muslim ahli hadits kenamaan yang kitabnya sederajat di bawah al-Qur’an. Namun demikian Kitab Shahih Bukhari setingkat di atas kitab Shahih Muslim sebab keriteria keshahihan hadits menurut Imam Bukhari lebih ketat dibandingkan Imam Muslim, akan tetapi Shahih Muslim memiliki keunggulan lain yaitu lebih sistematis dibandingkan Shahih Bukhari.

2.Kriteria penilaian hadits shahih menurut Imam Bukhari lebih ketat dibandingkan dengan Imam Muslim, sebab Imam Bukhari mengharuskan adanya pertemuan antara seorang perawi hadits dengan yang meriwayatkannya ataupun gurunya, sedangkan Imam Muslim cukup mempersyaratkannya dengan satu masa.

3.Sumbangan Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam bidang keilmuan hadits sangatlah luar biasa, sampai-sampai ada ulama yang mengatakan, tanpa adanya sumbangan kajian dari Imam Bukhari dan Muslim, tidak akan lahir ilmu-ilmu tentang hadits.***

DAFTAR BACAAN

Al-Qatthan, Manna’ Khalil, Mabahits Fi Ulumil Qur’an, (ansyurat al-Asr al-Hadits, 1973).Al-Sholih, Subhi, Ulumul Hadits wa Mushtholahuhu, (Beirut : Dar al-ilm li al-Malayin, 1973). Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Jakarta : Bulan Bintang, 1980).Departemen Agama, Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya, (Semarang : CV. Dharma Pala, 1997/1998).Muhibbin Noor, Dr. MA. H., Kritik Keshahihan Hadis Imam Al-Bukhari Telaah Kritis Atas Kitab al-Jami’ Al-Shahih, (Yogyakarta : Waqtu INSPEAL GROUP, 2003).Suryadilaga, M. Alfatih (editor), Studi Kitab Hadis, (Yogyakarta : Teras, 2003). Kata Pengantar oleh Dr. M. Abdurrahman, MA.Yuslem, Nawir, Dr. MA., Ulumul Hadis, (Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya, 2003) Editor Muhammad Ilyas.

Sumber

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top