Hari ini adalah hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, sekaligus juga hari hijrah dan wafat beliau menurut sebagian pendapat ulama. Hari ini semua umat islam bergembira menyambut momen penting ini dan memperingatinya.

Namun demikian, ada beberapa persoalan yang saling terkait berkenaan dengan hari peringatan ini.
Pertama, kenapa disebut maulud, padahal ini juga hari wafat beliau?

Tanpa sengaja akhir-akhir ini saya sering menemukan pertanyaan ini, baik dalam diskusi yang agak serius maupun sambil lewat begitu saja. Tidak jarang saya merasakan nuansa pertanyaan yang sinis sehingga mendorong penggalian logis di balik maksud. Seolah-olah ia sengaja dilontarkan untuk jadi sindiran sederhana oleh kelompok yang alergi terhadap praktik peringatan maulud ini. Dengan kata lain, kalimat pertanyaan itu bisa dibuat begini: kalian kan biasanya tahlilan, kok sekarang maulid yang dirayakan? Lagi pula, bukankah hari ini juga merupakan hari wafat beliau?

Jawabannya paling mudah dan sederhana bahwa kelahirannya adalah kehadiran yang menyertai risalah rahmat bagi alam semesta. Orang-orang yang sadar akan makna rahmat itu ingin menyambut momen penting ini dengan penuh suka cita. Memperingati kelahirannya adalah upaya menghadirkannya secara utuh meskipun fisiknya telah tiada. Dengan itu ada harapan peneladanan yang lebih nyata. Dengan peringatan itu, hari ini orang-orang sedang memutar film dan menonton bersama bagaimana sosoknya yang lembut dan penuh kasih, sifat-sifatnya yang mulia, dan ajaran-ajarannya yang indah yang menjadi tonggak kedewasaan peradaban manusia. Begitu istilah Muhammad Abduh menggambarkan ajaran-ajarannya.

Di samping itu, banyak riwayat dan kisah-kisah yang menunjukkan efek positif karena kegembiraan atas kelahirannya. Semua itu bisa Anda rujuk ke referensi-referensinya masing-masing.

Kedua, peringatan maulid adalah praktik bid'ah.

Tidak bisa kita pungkiri bahwa ada kelompok yang tidak sependapat dengan peringatan maulid ini dan praktik-praktik yang berlangsung di dalamnya. Menurut mereka ini adalah bid'ah, praktik heretik, tidak ada dalam ajaran Islam, tidak ada dalilnya, tidak ada dalam praktik Nabi Muhammad sendiri atau para sahabat beliau dan generasi tabi'in setelahnya.

Andai saja sekadar pendapat, begini saja, kita pun tidak perlu dibuat repot-repot atau meributkannya. Sayangnya, kelompok itu merasa tidak cukup hanya menyatakan pendapat. Mereka berpandangan bahwa karena setiap bid'ah itu sesat dan menodai ajaran agama, maka setiap praktiknya harus diberangus, dibersihkan, dan ajaran Islam harus dikembalikan kepada kemurnian dan kesuciannya.

Inilah awal dilemanya dan menjadi pangkal keributan dan perdebatan sengit yang terjadi di mana-mana. Korbannya adalah masyarakat awam yang biasa melakukan praktik-praktik itu dan hanya tahu bahwa peringatan maulid itu baik, ada manfaat dan dampak yang positif, tanpa perlu tahu dalil-dalil atau argumentasi yang kompleks.

Saya sendiri sering mendapatkan pertanyaan terkait masalah ini dan selalu bingung memulai jawaban dari mana. Pertama, karena argumentasi kelompok ini pada dasarnya bukanlah argumentasi hukum konsepsional, tetapi lebih mengarah pada utak-atik logika sederhana, mengaitkannya dengan beberapa teori hukum atau ajaran, yang tujuannya adalah mengisi celah yang dapat memengaruhi pikiran dan kesadaran para target, yaitu masyarakat awam.

Kedua, landasan pemikirannya saling bertabrakan satu sama lain. Ini disebabkan oleh alasan pertama di atas. Jika Anda jawab pada konsep argumen pertama, ia bisa lari lagi ke konsep argumentasi kedua, yang sebenarnya juga bukanlah benar-benar berkaitan secara utuh. Jika Anda terus ladeni, hasilnya adalah apa yang biasa kitab sebut debat kusir. Tidak ada gunanya.

Ketiga, sudut pandang yang menjadi pokok argumentasi amburadul dan bercampur aduk sana sini.

Saya punya kisah menarik dari guru saya yang lama tinggal dan belajar di Makkah. Tokoh dalam kisah ini adalah guru beliau. Sekitar tahun 70-an ke atas terjadi perdebatan soal pengadaan mikrofon di Masjidil Haram, apakah termasuk bid'ah atau tidak.

Pemerintah pun mengadakan konferensi untuk mencari jawaban pasti dan untuk mengambil keputusan. Para ulama diundang dari berbagai pelosok, termasuk syaikh kharismatik ini. Seminggu sudah konferensi itu berlangsung, perdebatan itu tak juga mencapai titik temu.

Pada hari terakhir menjelang penutupan, para ulama peserta dikejutkan dengan kedatangan syaikh. Beliau datang dengan mengendarai unta, dari Makkah ke Riyadh. Mereka bertanya-tanya kenapa baru datang, sementara konferensi sudah hampir ditutup. Dengan gampangnya beliau menjawab, kendaraan Nabi SAW jika berpergian hanya unta.

Orang-orang pun mengerti sindiran sekaligus jawaban atas persoalan yang sedang diperdebatkan itu. Keputusan pun diambil. Mikrofon atau pengeras suara pun boleh digunakan.

Kini wacana bid'ah pun berkembang dari semula mencakup banyak hal, sekarang rumusannya bahwa bid'ah yang sesat sebagaimana dalam hadis Nabi itu maksudnya adalah bidang ibadah saja, tidak termasuk mu'amalah. Ini yang sekarang juga jadi konsep dasar kelompok Wahabi/Salafi dan tidak jarang muncul dalam perdebatan mereka tentang bid'ah.

Konsep bid'ah makin lama semakin tidak jelas, khususnya ketika coba diterapkan pada suatu praktik, apakah ia termasuk atau tidak, berikut argumentasinya. Ia lebih ditujukan pada pemenangan keegoan diri atau kelompok. Seringkali tanpa perduli ketertindasan perasaan dan pikiran masyarakat yang awam tentang detail perkara agama, yang justru mayoritas pemeluk agama ini.

Di kampung-kampung, masalah ini tidak lagi sebatas perbedaan pendapat, yang etikanya harus tetap dijaga, atau diskusi ilmiah yang dapat membuka wawasan sekalipun masing-masing tetap pada pendapat dan pendiriannya. Pada beberapa kasus, masalah ini sudah menjurus persaingan, bahkan permusuhan, saling halang, bahkan saling serang. Beragama yang sejatinya indah justru jadi makin susah.

Praktik mauludan dan puncaknya yang terjadi hari ini adalah salah satu perkara yang paling sering dipersoalkan berkenaan dengan masalah ini. Ragam argumentasi diajukan, landasan-landasan logis coba disajikan. Saya tidak akan memerincikannya di sini, tetapi hanya mendiskusikannya dalam dua rumusan, yang mudah-mudahan bisa dijadikan pedoman.

Tulisan : Saiful Rahman Barito

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top